Beladiri Langga Festival Danau Limboto 2013, Foto Dinas Parawisata Kab Gorontalo
Beladiri Langga Kemenpora Nov 2014, Foto Hendro K
Forum pencinta Budaya Tradisional Gorontalo " Beladiri Langga" CP 085240040657
Jumat, 27 Februari 2015
Asal Usul Beladiri Langga Gorontalo
Oleh
Hartono Hadjarati
Asal usul beladiri langga tidak banyak diketahui oleh masyarakat
Gorontalo, seperti sejarah pencak silat saat ini, beladiri langga konon mulai
berkembang sejak abad 16, dimana Agama Islam mulai masuk ke Daerah Gorontalo, Ju
Panggola yang juga ulama besar penyebar agama Islam wilayah Gorontalo sekaligus
pejuang untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Gorontalo pada zamannya, Ju
Panggola juga dikenal raja Ilato, memiliki kesaktian yang sangat tinggi karena
itu beliau di beri gelar Raja Ilato “Kilat” yang dapat menghilang dan muncul
tiba-tiba ditengah keremunan orang banyak ketika ada pertikaian yang sangat
membahayakan keutuhan masyarakat Gorontalo. Dengan ke saktiannya inilah maka
orang Gorontalo menyebut beliaulah penciptkan beladiri Langga.
Beladiri Langga Lahir tanpa harus mempelajari struktur Gerak
atau teknik-teknik beladiri pada umumnya, Ju Panggola waktu itu hanya melakukan
Pitudu kepada muridnya yakni meneteskan cairan ke mata muridnya masing-masing,
maka secara otomatis mereka sudah mampu melakukan teknik-teknik beladiri yang
mampu mengalahkan musu-musunya terutama kepada kaum penjajah daerah Gorontalo. Oleh
karena itu Langga berasal dari kata “he langga langgawa” bahasa Gorontalo yang
artinya gerak-gerik. Maka sejak itulah langga menyebar pesat di masyarakat
Gorontalo dengan tradisi Pitodu-nya menjadi proses yang sangat sakrar. Yang harus
dilakukan saat mempelajari beladiri langga. Setelah itu dikenal dengan mo
bayango atau hepasialo, dengan melakukan bayango seorang murid akan cepat dapat
menguasi ilmu beladiri Langga. Mobayango atau hepasialo itu sesungguhnya
mengajarkan teknik-teknik gerak beladiri langga kepada murid baru setelah dia
dipitudu.
Proses Pitodu dilakukan sampai 7 kali sebelum murid langga
selasai belajar langga. Pitodu langga dilakukan sebagai media penghubung/mopodungga
antara lati (syetan) dengan pe langga.
Media penghubungnya “lati lo maluo” adalah
seekor ayam jantan yang dipotong saat prosesi pitodu dilaksanakan, karena
kepercayaan masyarakat Gorontalo bahwa lati
merupakan wujudnya bermacam-macam yang bisa bersemayam dalam tubuh manusia. Ayam
(maluo) adalah simbol sebagi hewan yang lincah dan agresif dengan penglihatan
yang tajam dari berbagai sisi. ###
Kamis, 26 Februari 2015
Mari Lestarikan Beladiri Langga Gorontalo
Oleh Hartono Hadjarati
Indonesia memiliki kekayaan kultural
yang beragam. Setiap kultur, etnis, suku dan agama memiliki ekspresi dan cara
pengungkapannya masing-masing. Salah satu ekspresi itu tercermin pada olahraga
tradisional yang hidup dan berkembang subur pada setiap daerah. Olahraga
tradisional yang berkembang di masyarakat bukan hanya sebatas permainan, tetapi
mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pelajaran. Selain itu,
kekuatan magis dan olah seni pun melengkapi eksistensi olahraga tradisional.
Keunikan olahraga tradisional menambah warna kekayaan budaya kita yang beragam
dan majemuk. Beberapa contoh olahraga tradisional Gorontalo antara lain,
Langga,Tongkobe, Tolode.
Olahraga tradisional
Gorontalo yang beragam ini kini kondisinya memperihatinkan, karena posisinya
telah tergantikan oleh berbagai permainan canggih dan bersifat otomatis serta
digital. Anak-anak dan pemuda Gorontalo kini memiliki kecenderungan kurang
mengenal olahraga tradisional Gorontalo. Padahal olahraga tradisional bisa
menjadi modal bagi ketahanan budaya menghadapi serbuan budaya global. Olahraga
tradisional bisa dijadikan perisai atau jati diri bangsa dalam pentas global.
Selain itu, juga memiliki dimensi lain, yakni potensi bagi upaya untuk
mendukung pariwisata. Keunikan olahraga tradisional akan dapat menarik minat
banyak wisatawan mancanegara untuk datang ke Gorontalo. Hal ini dapat berdampak
ekonomis terutama bagi masyarakat dan daerah Gorontalo. Selain itu, olahraga
ini berdampak positif bagi terwujudnya masyarakat yang bugar, tegar dan memiliki
sportifitas tinggi.
Salah satu peninggalan
kebudayaan yang berkembangan di
masyarakat Gorontalo adalah seni beladiri tradisional Langga.
Beladiri Langga adalah salah satu
seni beladiri yang berkembang dimasyarakat Gorontalo pada masa kerajaan dengan mengalami
masa ke emasan pada pasca kemerdekaan Gorontalo pada tahun 1942. dalam
perkembagannya olahraga Beladiri Langga
menjadi perwujudan dari ketangguhan dari pejuang-pejuang masyarakat Gorontalo
ketika menghadapi kaum penjajah bangsa Belanda dan Jepang.
Seni beladiri
tradisional Langga Gorontalo ada dua
jenis yakni Langga BuA dan Langga LaI. Diliat dalam struktur gerak dan tradisi
sama, yang membedakan adalah pada karakternya yakni Langga bu’a lebih agresif
dalam menantang lawan, ditandai dengan tidak lagi menghormati kepada lawannya.
Sedangkan langga La’I lebih tenang terhadap lawan, tapi memiliki ke waspadaan
tinggi dan kewibawaan, kadangkanlah dengan langga la’I salah satu lawan akan
takluk tanpa perlawanan.
Pada prinsipnya seni
beladiri tradisional Langga untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh. Beladiri Langga, ini merupakan seni beladiri yang menjadi milik Gorontalo,
dimana seni beladiri ini tidak digunakan untuk membunuh, melainkan menjaga
diri, melumpuhkan lawan tetapi tidak diwajibkan untuk hal-hal yang menimbulkan
korban jiwa. Beladiri Langga adalah
seni beladiri dengan tangan kosong, dan merupakan perkawinan tendangan dengan
pukul serta tangkapan yang terencana dalam upaya mengenai titik kelemahan pada
tubuh manusia, atau menjatuhkan lawan mainnya. Di samping sebagai alat beladiri
terdapat ajaran-ajaran filosofi kehidupan sebagai perwujudan terhadap pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (EeyA).
Selama ini beladiri Langga dipandang sebelah mata oleh
kalangan awam, karena masih dianggap jenis beladiri/beladiri yang ketinggal
zaman karena hanya mengandalkan kekuatan fisik dan beladiri Langga dipandang tidak lebih hanya dari
seni ke indah saja, yang tidak dapat di gunakan dalam pertarungan pada zaman
modern. ini menyebabkan masyarakat mempunyai persepsi yang campur aduk tidak
karuan terhadap beladiri langga.
tidak adanya satu kesepakatan masyarakat mengenai ilmu beladiri langga berdampak pada menurunya jumlah
orang yang tertarik mempelajari salah satu budaya luhur Gorontalo ini.
Selain itu adanya
tradisi-tradisi tidak logis seperti
aturan sesorang yang mau belajar beladiri langga
matanya harus di tetesi (dalam bahas Gorontalo 'Pitodu') dengan minyak kelapa
yang kelapanya khusus dipanjat pada hari jumat dengan jenis kelapa yang tidak
biasa, setelah itu proses pembuatannya harus melalui syarat-syarat tertentu
agar khasiat dari minyak ini sangat mujarab ketika digunakan untuk mengbeat
atau MODUHU para murid langga yang dianggap sudah tamat belajar langga.
Olahraga beladiri
Tradisional Langga di Provinsi Gorontalo belum mempunyai struktur gerak
sehingga menyulitkan masyarakat untuk mendalami olahraga beladiri Tradisional Langga tersebut.
Olahraga beladiri Tradisional Langga belum diketahui masyarakat secara
pasti landasan filosofis dan nilai dalam setiap gerak seni yang di lakukan. Belum
adanya aturan yang tertulis tentang aturan baku olahraga beladiri Tradisional beladiri
Langga sewaktu dalam pertandingan. Untuk itu,
pelestarian, pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional beladiri langga
adalah tindakan positif yang perlu kita dukung. Karena olahraga tradisional beladiri
langga memiliki daya dan kekuatan yang menyebabkan kita sebagai daerah memiliki
“kekebalan budaya” agar tak punah dan gagap dalam pergaulan dengan komunitas global.
Olahraga tradisional beladiri langga sebagai aset kekayaan budaya daerah dapat
menjadi fondasi yang kokoh dan kuat dalam membangun karakter daerah (# Jambura UNG)
Langganan:
Postingan (Atom)