Jumat, 27 Februari 2015

Pertunjukan Beladiri Langga

 Beladiri Langga Festival Danau Limboto 2013, Foto Dinas Parawisata Kab Gorontalo
Beladiri Langga Kemenpora Nov 2014, Foto Hendro K

Asal Usul Beladiri Langga Gorontalo

Oleh 
           Hartono Hadjarati

Asal usul beladiri langga tidak banyak diketahui oleh masyarakat Gorontalo, seperti sejarah pencak silat saat ini, beladiri langga konon mulai berkembang sejak abad 16, dimana Agama Islam mulai masuk ke Daerah Gorontalo, Ju Panggola yang juga ulama besar penyebar agama Islam wilayah Gorontalo sekaligus pejuang untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Gorontalo pada zamannya, Ju Panggola juga dikenal raja Ilato, memiliki kesaktian yang sangat tinggi karena itu beliau di beri gelar Raja Ilato “Kilat” yang dapat menghilang dan muncul tiba-tiba ditengah keremunan orang banyak ketika ada pertikaian yang sangat membahayakan keutuhan masyarakat Gorontalo. Dengan ke saktiannya inilah maka orang Gorontalo menyebut beliaulah penciptkan beladiri Langga.
Beladiri Langga Lahir tanpa harus mempelajari struktur Gerak atau teknik-teknik beladiri pada umumnya, Ju Panggola waktu itu hanya melakukan Pitudu kepada muridnya yakni meneteskan cairan ke mata muridnya masing-masing, maka secara otomatis mereka sudah mampu melakukan teknik-teknik beladiri yang mampu mengalahkan musu-musunya terutama kepada kaum penjajah daerah Gorontalo. Oleh karena itu Langga berasal dari kata “he langga langgawa” bahasa Gorontalo yang artinya gerak-gerik. Maka sejak itulah langga menyebar pesat di masyarakat Gorontalo dengan tradisi Pitodu-nya menjadi proses yang sangat sakrar. Yang harus dilakukan saat mempelajari beladiri langga. Setelah itu dikenal dengan mo bayango atau hepasialo, dengan melakukan bayango seorang murid akan cepat dapat menguasi ilmu beladiri Langga. Mobayango atau hepasialo itu sesungguhnya mengajarkan teknik-teknik gerak beladiri langga kepada murid baru setelah dia dipitudu.
Proses Pitodu dilakukan sampai 7 kali sebelum murid langga selasai belajar langga. Pitodu langga dilakukan sebagai media penghubung/mopodungga antara lati (syetan) dengan pe langga. Media penghubungnya “lati lo maluo” adalah seekor ayam jantan yang dipotong saat prosesi pitodu dilaksanakan, karena kepercayaan masyarakat Gorontalo bahwa lati merupakan wujudnya bermacam-macam yang bisa bersemayam dalam tubuh manusia. Ayam (maluo) adalah simbol sebagi hewan yang lincah dan agresif dengan penglihatan yang tajam dari berbagai sisi. ###

Kamis, 26 Februari 2015

Mari Lestarikan Beladiri Langga Gorontalo

Oleh  Hartono Hadjarati
Indonesia memiliki kekayaan kultural yang beragam. Setiap kultur, etnis, suku dan agama memiliki ekspresi dan cara pengungkapannya masing-masing. Salah satu ekspresi itu tercermin pada olahraga tradisional yang hidup dan berkembang subur pada setiap daerah. Olahraga tradisional yang berkembang di masyarakat bukan hanya sebatas permainan, tetapi mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pelajaran. Selain itu, kekuatan magis dan olah seni pun melengkapi eksistensi olahraga tradisional. Keunikan olahraga tradisional menambah warna kekayaan budaya kita yang beragam dan majemuk. Beberapa contoh olahraga tradisional Gorontalo antara lain, Langga,Tongkobe, Tolode.
Olahraga tradisional Gorontalo yang beragam ini kini kondisinya memperihatinkan, karena posisinya telah tergantikan oleh berbagai permainan canggih dan bersifat otomatis serta digital. Anak-anak dan pemuda Gorontalo kini memiliki kecenderungan kurang mengenal olahraga tradisional Gorontalo. Padahal olahraga tradisional bisa menjadi modal bagi ketahanan budaya menghadapi serbuan budaya global. Olahraga tradisional bisa dijadikan perisai atau jati diri bangsa dalam pentas global. Selain itu, juga memiliki dimensi lain, yakni potensi bagi upaya untuk mendukung pariwisata. Keunikan olahraga tradisional akan dapat menarik minat banyak wisatawan mancanegara untuk datang ke Gorontalo. Hal ini dapat berdampak ekonomis terutama bagi masyarakat dan daerah Gorontalo. Selain itu, olahraga ini berdampak positif bagi terwujudnya masyarakat yang bugar, tegar dan memiliki sportifitas tinggi.
Salah satu peninggalan kebudayaan yang  berkembangan di masyarakat Gorontalo adalah seni beladiri tradisional  Langga. Beladiri Langga adalah salah satu seni beladiri yang berkembang dimasyarakat Gorontalo pada masa kerajaan dengan mengalami masa ke emasan pada pasca kemerdekaan Gorontalo pada tahun 1942. dalam perkembagannya olahraga Beladiri Langga menjadi perwujudan dari ketangguhan dari pejuang-pejuang masyarakat Gorontalo ketika menghadapi kaum penjajah bangsa Belanda dan Jepang.
Seni beladiri tradisional  Langga  Gorontalo ada dua jenis yakni Langga BuA dan Langga LaI. Diliat dalam struktur gerak dan tradisi sama, yang membedakan adalah pada karakternya yakni Langga bu’a lebih agresif dalam menantang lawan, ditandai dengan tidak lagi menghormati kepada lawannya. Sedangkan langga La’I lebih tenang terhadap lawan, tapi memiliki ke waspadaan tinggi dan kewibawaan, kadangkanlah dengan langga la’I salah satu lawan akan takluk tanpa perlawanan.
Pada prinsipnya seni beladiri tradisional Langga untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Beladiri Langga, ini merupakan seni beladiri yang menjadi milik Gorontalo, dimana seni beladiri ini tidak digunakan untuk membunuh, melainkan menjaga diri, melumpuhkan lawan tetapi tidak diwajibkan untuk hal-hal yang menimbulkan korban jiwa. Beladiri Langga adalah seni beladiri dengan tangan kosong, dan merupakan perkawinan tendangan dengan pukul serta tangkapan yang terencana dalam upaya mengenai titik kelemahan pada tubuh manusia, atau menjatuhkan lawan mainnya. Di samping sebagai alat beladiri terdapat ajaran-ajaran filosofi kehidupan sebagai perwujudan terhadap pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (EeyA).
Selama ini beladiri Langga dipandang sebelah mata oleh kalangan awam, karena masih dianggap jenis beladiri/beladiri yang ketinggal zaman karena hanya mengandalkan kekuatan fisik dan beladiri Langga dipandang tidak lebih hanya dari seni ke indah saja, yang tidak dapat di gunakan dalam pertarungan pada zaman modern. ini menyebabkan masyarakat mempunyai persepsi yang campur aduk tidak karuan terhadap beladiri langga. tidak adanya satu kesepakatan masyarakat mengenai ilmu beladiri langga berdampak pada menurunya jumlah orang yang tertarik mempelajari salah satu budaya luhur Gorontalo ini.
Selain itu adanya tradisi-tradisi  tidak logis seperti aturan sesorang yang mau belajar beladiri langga matanya harus di tetesi (dalam bahas Gorontalo 'Pitodu') dengan minyak kelapa yang kelapanya khusus dipanjat pada hari jumat dengan jenis kelapa yang tidak biasa, setelah itu proses pembuatannya harus melalui syarat-syarat tertentu agar khasiat dari minyak ini sangat mujarab ketika digunakan untuk mengbeat atau MODUHU para murid langga yang dianggap sudah tamat belajar langga.
Olahraga beladiri Tradisional  Langga di Provinsi Gorontalo belum mempunyai struktur gerak sehingga menyulitkan masyarakat untuk mendalami olahraga beladiri Tradisional  Langga tersebut. Olahraga beladiri Tradisional  Langga belum diketahui masyarakat secara pasti landasan filosofis dan nilai dalam setiap gerak seni yang di lakukan. Belum adanya aturan yang tertulis tentang aturan baku olahraga beladiri Tradisional beladiri Langga sewaktu dalam pertandingan. Untuk itu, pelestarian, pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional beladiri langga adalah tindakan positif yang perlu kita dukung. Karena olahraga tradisional beladiri langga memiliki daya dan kekuatan yang menyebabkan kita sebagai daerah memiliki “kekebalan budaya” agar tak punah dan gagap dalam pergaulan dengan komunitas global. Olahraga tradisional beladiri langga sebagai aset kekayaan budaya daerah dapat menjadi fondasi yang kokoh dan kuat dalam membangun karakter daerah (# Jambura UNG)