Falsafah Beladiri Langga
oleh
Hartono Hadjarati
Pembinaan beladiri tradisional yang
mengandung falsafaf budi pekerti luhur dijiwai oleh nilai-nilai masyarakat
melayu yang mengajarkan nilai-nilai seperti : taqwa yang artinya beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa; tanggap artinya
peka terhadap perubahan, bersikap berani, dan terus meningkatkan kualitas diri;
tangguh artinya ulet dalam usaha mengembangkan kemampuan agar dapat menghadapi
dan menjawab setiap tantangan guna mencapai sutau tujuan; tanggon berarti
sanggup menegakkan keadilan, kejujuran, kebenaran, mempunyai harga diri, sikap
ksatria yang mandiri dan percaya diri; trengginas berarti energik, kreatif,
inovatif, dan mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat
(Mulyana,Vii,2013)
Falsafah
pada dasarnya adalah pandangan dan kebijaksanaan hidup manusia dalam kaitan
dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral dan nilai agama yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pada awal munculnya Langga ‘Ju Panggola’ telah meletakan falsafa dalam diri pe’langga yakni tangguh, Mo’e’a dan Motuli’ato, tangguh artinya pe’langga sanggup menegakkan keadilan di
bumi hulondholo (Gorontalo), sikap
ksatria dan mempunyai harga diri agar mendapatkan kepercayaan diri untuk
membangun dan menjaga kedamaian untuk manusia sekitarnya. Diharapkan dengan
adanya beladiri langga bisa mencetak pe’langga
Mo’e’a, pe’langga yang tidak bisa tunduk begitu saja kepada keadaan, pe’langga harus reaktif terhadap hal-hal
yang baik. Motuli’ato berarti pe’langga
harus energik, kreatif, inovatif, karena beladiri langga sangat dominan dalam
komponen fisik kecepatan reaksi, daya tahan, serta ketepatan, disinilah
dibutuhkan kreatifitas pe’langga
untuk memberdayaakan potensi dalam dirinya, serta mau bekerja keras untuk
kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo.
Dalam
falsafah beladiri langga ada suatu
etika, yakni ketika pe’langga melakukan pertarungan langga, yakni harus jelas siap yang melakukan sikap ‘mohudu’ atau di pencak silat dikenal
dengan sikap pasang, selama yang mohudu
ini tidak melakukan penyerangan maka pihak lawan tidak bisa melakukan serangan
terlebih dahulu. Dia menunggu sampai ada gerak menyerang dari pihak yang mohudu tadi, sampai tidak penyerangan
maka, itu akan terjadi kedamaian atau kesepakatan damai, pada intinya semua
persoalan bukan harus di selesaikan dengan pertarungan kalah menang. Etika pada
hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan
ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasan, nilai-nilai, norma-norma dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika berusaha untuk menjernihkan
permasalahan yang terjadi.
Nenek moyang orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di
abad ke-XV mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni,
yakni harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada
semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya
terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di zaman
itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi atas benda
dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu harmoni. Dengan kata
lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus dicapai ialah yang menjamin
keberlangsungan harmoni kehidupan. Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian,
merangsang sikap ingin tahu di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara
yang diapit samudera luas (Popyram Asriyani,29: 2009, Elnino,2008).
Beladiri langga adalah sarana untuk mencapai harmoni pikiran dan aktivitas
gerak dalam tubuh. Tujuan mempelajari dinamika tubuh dan pikiran untuk mengali
potensi dalam diri sendiri. Beladiri langga
adalah seni beladiri yang dasar gerak untuk lebih membaca bahasa tubuh dan jiwa untuk
mengembangkan fisik pe’langga ini bisa dilihat dalam prosesi “Pitodu”
Ketika itu tidak ada guru langga, yang memberikan
langsung jurus-jurus beladiri langga, mereka belajar secara otodidaktik dan
kemandirian. Alamlah yang menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber
logika satu-satunya. Itulah sebabnya ilmu beladiri langga dalam struktur
geraknya lebih bernuansa filsafat air. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber
terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhuhe yito tumolohu
de moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan
agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat
air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan terus
berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu,
pombango moheyipo (Jikalau banjir, pinggiran sungai pun pindahlah)
bermaksud; jikalau ada yang lebih tinggi ilmu langga, maka seorang pe’langga
menghormati yang diwujudkan dengan molubo
kepada orang tersebut.
Falsafah air berkembang di Gorontalo karena lingkungan
hidup mereka adalah lingkungan air, yakni danau, telaga dan sungai begitu
banyak di daratan ini. Hal ini bisa dilihat dalam kuda-kuda beladiri langga, dengan pola langkah yang
seakan-akan berjalan di dalam derasnya arus air sungai, dengan salah satu kaki
atau keduanya seakang mecenkram serta menopang sebagaian berat badan dan
cendrung bersifat aktif maupun pasif. Seorang pe’langga yang telah mampu
mencapai harmoni pikiran dan gerak tubuh akan mampu membedakan serangan lawan
melalui bahasa tubuh dan jiwa penyerang, Hal ini terwujud dalam ungkapan totame mauitolo popai (tangkisan sudah
itulah pukulan/serangan balik). Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula
dengan pemikiran tentang api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika
ia mampu mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya.
Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.## Hartono Hadjarati
.