Minggu, 17 Januari 2016

Falsafah Beladiri Langga

Falsafah Beladiri Langga
oleh
Hartono Hadjarati

Pembinaan beladiri tradisional yang mengandung falsafaf budi pekerti luhur dijiwai oleh nilai-nilai masyarakat melayu yang mengajarkan nilai-nilai seperti : taqwa yang artinya beriman kepada Tuhan Yang  Maha Esa; tanggap artinya peka terhadap perubahan, bersikap berani, dan terus meningkatkan kualitas diri; tangguh artinya ulet dalam usaha mengembangkan kemampuan agar dapat menghadapi dan menjawab setiap tantangan guna mencapai sutau tujuan; tanggon berarti sanggup menegakkan keadilan, kejujuran, kebenaran, mempunyai harga diri, sikap ksatria yang mandiri dan percaya diri; trengginas berarti energik, kreatif, inovatif, dan mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat (Mulyana,Vii,2013)
            Falsafah pada dasarnya adalah pandangan dan kebijaksanaan hidup manusia dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral dan nilai agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pada awal munculnya Langga ‘Ju Panggola’ telah meletakan falsafa dalam diri pe’langga yakni tangguh, Mo’e’a dan Motuli’ato, tangguh artinya pe’langga sanggup menegakkan keadilan di bumi hulondholo (Gorontalo), sikap ksatria dan mempunyai harga diri agar mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun dan menjaga kedamaian untuk manusia sekitarnya. Diharapkan dengan adanya beladiri langga bisa mencetak  pe’langga  Mo’e’a, pe’langga yang tidak bisa tunduk begitu saja kepada keadaan, pe’langga harus reaktif terhadap hal-hal yang baik. Motuli’ato berarti pe’langga harus energik, kreatif, inovatif, karena beladiri langga sangat dominan dalam komponen fisik kecepatan reaksi, daya tahan, serta ketepatan, disinilah dibutuhkan kreatifitas pe’langga untuk memberdayaakan potensi dalam dirinya, serta mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo.
            Dalam falsafah beladiri langga ada suatu etika, yakni ketika pe’langga melakukan pertarungan langga, yakni harus jelas siap yang melakukan sikap ‘mohudu’ atau di pencak silat dikenal dengan sikap pasang, selama yang mohudu ini tidak melakukan penyerangan maka pihak lawan tidak bisa melakukan serangan terlebih dahulu. Dia menunggu sampai ada gerak menyerang dari pihak yang mohudu tadi, sampai tidak penyerangan maka, itu akan terjadi kedamaian atau kesepakatan damai, pada intinya semua persoalan bukan harus di selesaikan dengan pertarungan kalah menang. Etika pada hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan yang terjadi.
                Nenek moyang orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di abad ke-XV mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni, yakni harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di zaman itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi atas benda dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu harmoni. Dengan kata lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus dicapai ialah yang menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan. Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian, merangsang sikap ingin tahu di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara yang diapit samudera luas (Popyram Asriyani,29: 2009, Elnino,2008).
            Beladiri langga adalah sarana untuk mencapai harmoni pikiran dan aktivitas gerak dalam tubuh. Tujuan mempelajari dinamika tubuh dan pikiran untuk mengali potensi dalam diri sendiri. Beladiri langga adalah seni beladiri yang dasar gerak untuk lebih  membaca bahasa tubuh dan jiwa untuk mengembangkan fisik pe’langga ini bisa dilihat dalam prosesi “Pitodu
            Ketika itu tidak ada guru langga, yang memberikan langsung jurus-jurus beladiri langga, mereka belajar secara otodidaktik dan kemandirian. Alamlah yang menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber logika satu-satunya. Itulah sebabnya ilmu beladiri langga dalam struktur geraknya lebih bernuansa filsafat air. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhuhe yito tumolohu de moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan terus berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu, pombango moheyipo (Jikalau banjir, pinggiran sungai pun pindahlah) bermaksud; jikalau ada yang lebih tinggi ilmu langga, maka seorang pe’langga menghormati yang diwujudkan dengan molubo kepada orang tersebut.
            Falsafah air berkembang di Gorontalo karena lingkungan hidup mereka adalah lingkungan air, yakni danau, telaga dan sungai begitu banyak di daratan ini. Hal ini bisa dilihat dalam kuda-kuda beladiri langga, dengan pola langkah yang seakan-akan berjalan di dalam derasnya arus air sungai, dengan salah satu kaki atau keduanya seakang mecenkram serta menopang sebagaian berat badan dan cendrung bersifat aktif maupun pasif. Seorang pe’langga yang telah mampu mencapai harmoni pikiran dan gerak tubuh akan mampu membedakan serangan lawan melalui bahasa tubuh dan jiwa penyerang, Hal ini terwujud dalam ungkapan totame mauitolo popai (tangkisan sudah itulah pukulan/serangan balik). Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula dengan pemikiran tentang api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika ia mampu mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya. Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.## Hartono Hadjarati

.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan saran dan kritik anda Odu olo