Asal Usul Langga
oleh
Hartono Hadjarati
Kapan beladiri langga lahir tidak ada yang tahu persis,
lalu bagaimana beladiri ini berkembang. Beladiri langga ini berkembang melalui informasi dari mulut ke mulut,
beladiri langga disebarkan melalui
kisah atau legenda masyarakat Gorontalo.
Ju
Panggola adalah sebuah gelar atau julukan.Ju dalam bahasa Gorontalo yang artinya
ya, dan Panggola berarti tua. Jadi, Ju Panggola berarti ya pak
tua. Menurut sejarah, orang yang dijuluki Ju Panggola itu adalah Ilato
yang berarti kilat. Ia adalah seorang Awuliya
atau Wali yang menyebarkan agama
Islam di Gorontalo dan memiliki kesaktian yang tinggi, yakni mampu menghilang
dari pandangan manusia dan dapat muncul seketika jika Negeri Gorontalo dalam
keadaan gawat. Ia dijuluki Ju Ponggala,
karena ia selalu tampil atau muncul dengan profil kakek tua berjenggot panjang
dan mengenakan jubah putih. Ju Panggola
meninggalkan sebuah aliran ilmu putih yang diterapkan lewat beladiri yang oleh
masyarakat Gorontalo di sebut dengan langga.
Semasa masih hidup, Ju Panggola
mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya dengan cara meneteskan air mata pada
mata mereka. Setelah itu, sang murid akan menguasai ilmu beladiri tersebut
melalui mimpi ataupun gerakan refleks. Ju
Panggola meninggal pada abad 14, ini dibuktikan dengan bangunan makam yang
terletak di kelurahan Dembe I kecamatan kota Barat Kota Gorontalo, yang saat
ini oleh masyarakat dianggap kompleks suci.
Beladiri langga terus berkembang, di wilayah
Gorontalo (Hulondahlo), menyebar kesemua kerajaan kecil waktu. Maka muncul Jogugu sebagai kepala keaman waktu itu,
seorang Jogugu sangat ahli dalam
olahkanuragan (langga). pada abad ke
16 beladiri langga, sudah menjadi
beladiri yang sangat populer di semua lapisan masyarakat Gorontalo waktu itu
baik orang dalam kerajaan maupun masyarakat biasa. Puncaknya pada abad ke 17
dalam kerajaan Limboto dan Kerajaan Gorontalo.
Dokumen/ Foto : Jogugu Gorontalo 1870
Sumber : www.gorontaloprov.go.id
1.
Beladiri
Langga Masa Kerajaan
Pada zaman kerajaan
Nusantara, beladiri dijadikan sebagai alat untuk mencapai status dan kedudukan
sosial, seseorang yang menguasai kemahiran beladiri disegani oleh masyarakat
dan dapat mencapai kekuasaan politik, Maryono,(2000) dalam Mulyana 2013.79)
Seiring dengan pesatnya
kebudayaan dan majunya transfortasi (laut dan darat), terjadi perluasan
kekuasan oleh kerajaan satu terhadap kerajaan lainnya. Kemudian mulailah proses
interaksi budaya dan ilmu pengetahuan, baik antara kerajaan rumpun melayu
maupun dengan kerajaan di luar negeri sehingga mengakibatkan proses saling
mempengaruhi termasuk beladiri. Proses saling mempengaruhi inilah yang saling
berperan dalam memberikan aneka ragam gerak beladiri sehingga tidak tampak lagi
keaslian beladiri.
Beladiri langga bukan ilmu yang
statis. Ilmu ini berkembang dari waktu kewaktu. Proses akulturasi merupakan
salah satu penyebab munculnya berbagai aliran dan peningkatan kemampuan
beladiri langga. Perpindahan
penduduk, ekspansi kerajaan dan sifat suka merantau
(moleleyangi) menyebabkan
terjadinya pertemuan dan persilangan antara berbagai ilmu kanuragan (beladiri)
yang saling memberi dan menerima. Oleh karenanya dengan datangnya berbagai suku
dan bangsa ke Gorontalo, tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya persilangan
yang memperkaya kemampuan beladiri langga
Gorontalo seperti misalnya ilmu beladiri yang banyak dipengaruhi Kuntao Cina
diberbagai tempat di daerah Gorontalo sudah dianggap sebagai ilmu asli
setempat.
Basri Amein (2012:59 ) mengatakan pada tahun 1930-an secara sosial orang
Gorontalo jarang saling benci dan jarang suka berkelahi,
juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian
di antara masyarakat itu karena minuman keras (saguer). Walaupun saat itu rata-rata orang Gorontalo mengetahui beladiri
Langga serta mempunyai
pisau belati. Meskipun demikian tak pernah ada perang besar didaerah Gorontalo,
walaupun pada abad ke 17 kerajaan Limboto dan Gorontalo berperang tapi akhirnya
bisa diakhiri dengan kesadaran akan manfaat persahabatan.
Hal ini masih melekat dalam filosofis langga
bahwa kedamaian itu tidak selamanya diselesaikan dalam sebuah pertarungan, ini
bisa dilihat dalam sikap “mohudu”.
Saat “mohudu” atau meragai tidak ada
orang lain menerima maka selama itu pula seorang yang sedang mohudu tidak bisa menyerang orang lain. Hal
ini sesuai dengan falasaf orang Gorontalo, “dila pololehe parakara, wanu
malodungaya dilabo teteo”.
Keadaan daerah
Gorontalo di atas sesuai
yang di tulis oleh F.De Haan (1935:150-160 dalan Djoko
Soekiman,2014,35) yang
mengatakan Gorontalo adalah salah
satu pemasuk prajurit sewaan yang siap pakai oleh pemerintah Hindia Belanda
untuk menjaga wilayah kekuasaanya yang
semakin luas di nusantara, ada banyak hulptroepen (pasukan) yang diserahkan oleh raja Gorontalo, paduka
Muhammad Djain Iskandar Monvarsa, kepada asisten residen Gorontalo, Willem
Laurens Van Gurieke. Dalam perjanjian yang bertanggal 29 Agustus 1828
disebutkan sebanyak 400 orang yang menguasai beladiri langga dibawah oleh putra sulung Hassan Monvarsa yang diberi
pangkat “ Kapitein laut”.
Dokumen : Foto Raja
Gorontalo Iskandar Monoarfa
2. Beladiri Langga Masa Penjajahan
Puncaknya pada tanggal
23 Januari 1942, para pemuda yang dipimpin oleh Nani Wartabone mengadakan
perlawan terhadap kedudukan Belanda di Gorontalo, dengan semangat patriotisme
pemuda-pemuda yang telah dibekali dengan beladiri langga dengan permainan pedang (Longgo), ini mampu mengalahkan
Bangsa penjajah. Belanda merencanakan pembumi
hangusan segala aset di daerah jajahan termasuk di daerah Gorontalo apabila
terjadi serbuan Jepang. Para pemuda ini dikenal dengan pasukan
rimba Nani Wartabone, tapi sangat disayangkan
pasukan rimba, saat ini nasib dan keberadaan mereka tidak banyak diketahui.
Pasukan rimba ini konon direkrut dari pemuda-muda yang telah menguasai beladiri
langga, yang ada didaerah suwawa dimana Bapak Nani Wartabone tinggal.
Kontribusi terakhir pasukan rimba ini ketika penumpasan PERMESTA di Gorontalo.
Dokumen : Pahwan
Gorontalo Bpk Nani Wartabone
dokumen Penelitian : studio Civica Tv