Rabu, 04 Mei 2016

Defenisi setiap nama dalam Beladiri Langga


Istilah-istilah Dalam Beladiri Langga Gorontalo

Pitodu adalah Proses tradisi wajib dijalani oleh pemula ‘Pelangga’ saat pertama kali belajar Langga, dilakukan secara teratur  dan penuh Tatakrma mendasari kesakralan eksistensi Langga tradisional konservatif pada akar budaya Gorontalo yang berdasar pada lahirnya beladiri Langga

 Bulontala Suwawa Selatan
Ilomata : Atingola Gorut
Batu Layar : Bongomeme Kab. Gorontalo

Moragai adalah rangkaian gerak yang tersusun mulai dari Mohudu atau Mohemeto, DudutaO, ToTame wau PopaI, menjadi suatu bentuk gerak popoli yang memiliki nilai keindahan dan kewibawaan dengan ciri  hentakan kaki ketika melangkah, dilakukan dalam keadaan sadar dan kewaspadaan tinggi dengan emosi tetap terkontrol baik, sehingga lawan kehilangan gairah untuk menantang.

 Mohudu
Mohemeto

Totame wau PoPaI


By Hartono Hadjarati

Jumat, 15 April 2016

Langga Sebagai Beladiri



Langga Sebagai Beladiri
BY
Hartono Hadjarati

Bersama Guru langga BuA Desa Ilomata Gorut. Bpk Ismail Jahiji (Pa Tinggi Sumo)

Langga sebagai sebuah fenomena beladiri, terbilang cukup unik, Langga berfungsi sebagai alat atau cara pembelaan diri dengan tangan kosong. Tujuan Langga tidak hanya membentuk pe’langga agar mampu membela diri terhadap lawan, namun juga meningkatkan “kesadaran” spritual seorang pe’langga terhadap eksistensi dirinya sendiri, sesamanya dan alam semesta.
Konsep teknik beladiri Langga secara fisik berupa penggunaan faktor arah dan tenaga lawan untuk dipergunakan oleh Pe’langga dalam mengagalkan serangan lawan, dengan balik peyerang, “Totame MaUi Tolo PopaI” tenaga lawan tidak dihindari atau ditentang, tapi dimanfaatkan untuk menyerang balik, dengan mengunci serangan atau menjatuhkan lawan.
Langga adalah cara mempertahankan diri dengan teknik beladiri. Langga adalah seni untuk menyelamatkan diri dari serangan yang langsung maupun tidak langsung. Ju Panggola sebagai pencipta Langga dengan tujuan menjadi alat rekonsiliasi artinya langga idealnya adalah alat untuk mencari persaudaraan, perdamaian. Bukan sebagai sarana yang justru merenggangkan hubungan dengan manusia lain. Karena langga adalah alternatif terakhir yang terpaksa diambil bila tiada jalan lain untuk menemukan kedamaian. Jalan langga adalah jalan untuk menghentikan semua bentuk perseturuan yang didasari jiwa kasih sayang. Dengan demikian langga akan berfungsi sebagai pengayom, bukan perusak.
“Molopato Tonula Hiala laAta to hila hila lo taU”
Langga tidak memiliki struktur gerak yang baku sampai saat ini, tapi teknik langga dirancang untuk merusak, meskipun potensi untuk hal tersebut tetap besar, yakni konsep gerak “molelapo to tonula leletua” artinya mengunci semua persendian. Teknik Mohudu dalam langga dirancang untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada lawan dalam mengakhiri konflik perkelahian secara bijaksana.
Semua beladiri mempunyai kelebihan dan keterbatasan sendiri. Setiap manusia mempunyai potensi, inisiatif, cipta,rasa, karsa dan inovasi sendiri. Masing-masing orang mempunyai interprestasi dan pendapat sendiri-sendiri tentang bagaimana cara menghadapi serangan dan mengembangkan sistematika beladirinya. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan struktur pertahan diri maupun penyerangan balik.#Foto langga BuA

Kamis, 03 Maret 2016

Gerakan langga sebagai beladiri



Langga adalah istilah lokal sebagai besar masyarakat Gorontalo untuk menyebut nama ilmu Beladirinya sebuah "Local Genius Product" hasil Proses kreatif leluhur masyarakat yang menjadi salah satu identitas Ke-Gorontalo-an

 Mohudu wau mohemeto
 teknik molame uato
 Punggu=kuncian
Moragai=kembangan

Beladiri Langga dalam setiap gerakkan mengandung filisofis dan  sarat dengan sejarah yang menghadirikan "teater of Mind" sehingga bagi generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap Langga, akan menumbuhkan rasa bangga,haru dan kagum kepada para leluhur yang berjuang keras mempelajarinya secara turun-temurun.# Savelangga#tardisi#budaya# Hartono Hadjarati

Rabu, 02 Maret 2016

Kajian otokritik sejarah Langga Gorontalo


Dalam sejarah langga disebutkan bahwa langga sudah ada sebelum Islam masuk ke daerah Gorontalo, yang meng-Islam-kan Rakyat Gorontalo adalah Raja Amai 1523-1550 pada Abad 16 tahun 1525 Amai masuk Islam. sedangkan Ju Panggola orang yang melahirkan langga disebut sebagai Aulia penyebar agama Islam. TAPI kalau di kaji dalam praktek Langga, langga masih mengunakan filsafat Naturalistik dimana nilai-nilai dan norma-norma budaya bersumber dari fenomena alam semesta. Benarkah Ju Panggola sebagai pencipta Langga???# otokritiksejarahlangga


Rabu, 10 Februari 2016

Sejarah Langga

Asal Usul Langga 
oleh 
Hartono Hadjarati

Kapan beladiri langga lahir tidak ada yang tahu persis, lalu bagaimana beladiri ini berkembang. Beladiri langga ini berkembang melalui informasi dari mulut ke mulut, beladiri langga disebarkan melalui kisah atau legenda masyarakat Gorontalo.
Ju Panggola adalah sebuah gelar atau julukan.Ju dalam bahasa Gorontalo yang artinya ya, dan Panggola berarti tua. Jadi, Ju Panggola berarti ya pak tua. Menurut sejarah, orang yang dijuluki Ju Panggola itu adalah Ilato yang berarti kilat. Ia adalah seorang Awuliya atau Wali yang menyebarkan agama Islam di Gorontalo dan memiliki kesaktian yang tinggi, yakni mampu menghilang dari pandangan manusia dan dapat muncul seketika jika Negeri Gorontalo dalam keadaan gawat. Ia dijuluki Ju Ponggala, karena ia selalu tampil atau muncul dengan profil kakek tua berjenggot panjang dan mengenakan jubah putih. Ju Panggola meninggalkan sebuah aliran ilmu putih yang diterapkan lewat beladiri yang oleh masyarakat Gorontalo di sebut dengan langga. Semasa masih hidup, Ju Panggola mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya dengan cara meneteskan air mata pada mata mereka. Setelah itu, sang murid akan menguasai ilmu beladiri tersebut melalui mimpi ataupun gerakan refleks. Ju Panggola meninggal pada abad 14, ini dibuktikan dengan bangunan makam yang terletak di kelurahan Dembe I kecamatan kota Barat Kota Gorontalo, yang saat ini oleh masyarakat dianggap kompleks suci.
Beladiri langga terus berkembang, di wilayah Gorontalo (Hulondahlo), menyebar kesemua kerajaan kecil waktu. Maka muncul Jogugu sebagai kepala keaman waktu itu, seorang Jogugu sangat ahli dalam olahkanuragan (langga). pada abad ke 16 beladiri langga, sudah menjadi beladiri yang sangat populer di semua lapisan masyarakat Gorontalo waktu itu baik orang dalam kerajaan maupun masyarakat biasa. Puncaknya pada abad ke 17 dalam kerajaan Limboto dan Kerajaan Gorontalo.
Dokumen/ Foto : Jogugu Gorontalo 1870
Sumber : www.gorontaloprov.go.id

1.        Beladiri Langga Masa Kerajaan
Pada zaman kerajaan Nusantara, beladiri dijadikan sebagai alat untuk mencapai status dan kedudukan sosial, seseorang yang menguasai kemahiran beladiri disegani oleh masyarakat dan dapat mencapai kekuasaan politik, Maryono,(2000) dalam Mulyana 2013.79)
Seiring dengan pesatnya kebudayaan dan majunya transfortasi (laut dan darat), terjadi perluasan kekuasan oleh kerajaan satu terhadap kerajaan lainnya. Kemudian mulailah proses interaksi budaya dan ilmu pengetahuan, baik antara kerajaan rumpun melayu maupun dengan kerajaan di luar negeri sehingga mengakibatkan proses saling mempengaruhi termasuk beladiri. Proses saling mempengaruhi inilah yang saling berperan dalam memberikan aneka ragam gerak beladiri sehingga tidak tampak lagi keaslian beladiri.
Beladiri langga bukan ilmu yang statis. Ilmu ini berkembang dari waktu kewaktu. Proses akulturasi merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai aliran dan peningkatan kemampuan beladiri langga. Perpindahan penduduk, ekspansi kerajaan dan sifat suka merantau (moleleyangi) menyebabkan terjadinya pertemuan dan persilangan antara berbagai ilmu kanuragan (beladiri) yang saling memberi dan menerima. Oleh karenanya dengan datangnya berbagai suku dan bangsa ke Gorontalo, tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya persilangan yang memperkaya kemampuan beladiri langga Gorontalo seperti misalnya ilmu beladiri yang banyak dipengaruhi Kuntao Cina diberbagai tempat di daerah Gorontalo sudah dianggap sebagai ilmu asli setempat.
Basri Amein (2012:59 ) mengatakan pada tahun 1930-an secara sosial orang Gorontalo jarang saling benci dan jarang suka berkelahi, juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian di antara masyarakat itu karena minuman keras (saguer). Walaupun saat itu rata-rata orang Gorontalo mengetahui beladiri Langga serta mempunyai pisau belati. Meskipun demikian tak pernah ada perang besar didaerah Gorontalo, walaupun pada abad ke 17 kerajaan Limboto dan Gorontalo berperang tapi akhirnya bisa diakhiri dengan kesadaran akan manfaat persahabatan. Hal ini masih melekat dalam filosofis langga bahwa kedamaian itu tidak selamanya diselesaikan dalam sebuah pertarungan, ini bisa dilihat dalam sikap “mohudu”. Saat “mohudu” atau meragai tidak ada orang lain menerima maka selama itu pula seorang yang sedang mohudu tidak bisa menyerang orang lain. Hal ini sesuai dengan falasaf orang Gorontalo, “dila pololehe parakara, wanu malodungaya dilabo teteo”.
Keadaan daerah Gorontalo di atas sesuai yang di tulis oleh F.De Haan (1935:150-160 dalan Djoko Soekiman,2014,35) yang mengatakan Gorontalo adalah salah satu pemasuk prajurit sewaan yang siap pakai oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga wilayah kekuasaanya yang  semakin luas di nusantara, ada banyak hulptroepen (pasukan) yang diserahkan oleh raja Gorontalo, paduka Muhammad Djain Iskandar Monvarsa, kepada asisten residen Gorontalo, Willem Laurens Van Gurieke. Dalam perjanjian yang bertanggal 29 Agustus 1828 disebutkan sebanyak 400 orang yang menguasai beladiri langga dibawah oleh putra sulung Hassan Monvarsa yang diberi pangkat “ Kapitein laut”.


Dokumen : Foto Raja Gorontalo Iskandar Monoarfa
2.      Beladiri Langga Masa Penjajahan
Puncaknya pada tanggal 23 Januari 1942, para pemuda yang dipimpin oleh Nani Wartabone mengadakan perlawan terhadap kedudukan Belanda di Gorontalo, dengan semangat patriotisme pemuda-pemuda yang telah dibekali dengan beladiri langga dengan permainan pedang (Longgo), ini mampu mengalahkan Bangsa penjajah. Belanda merencanakan pembumi hangusan segala aset di daerah jajahan termasuk di daerah Gorontalo apabila terjadi serbuan Jepang. Para pemuda ini dikenal dengan pasukan rimba  Nani Wartabone, tapi sangat disayangkan pasukan rimba, saat ini nasib dan keberadaan mereka tidak banyak diketahui. Pasukan rimba ini konon direkrut dari pemuda-muda yang telah menguasai beladiri langga, yang ada didaerah suwawa dimana Bapak Nani Wartabone tinggal. Kontribusi terakhir pasukan rimba ini ketika penumpasan  PERMESTA di Gorontalo.
Dokumen : Pahwan Gorontalo Bpk Nani Wartabone
dokumen Penelitian : studio Civica Tv

Selasa, 02 Februari 2016

Berbagai Unsur Gerak dalam Beladiri Langga

Foto-foto diatas menunjukan Unsur gerak dasar Moragai atau Mohudu dan mohemeto dalam Beladiri Langga Gorontalo, gerak ini yang harus pertama dikuasai oleh para Pe'Langga.

Mohudu = Wolohuduwolo
Mohameto = Wolohemetalo
Moheupo = Wolo u wa u polo

3 pertanyaan di atas yang harus dikuasai oleh pelangga, Pertanyaan  3 diatas setiap perguruan memiliki teknik dan taktik tersendiri terutama unsur mistiknya.


Gambar diatas Menunjukan Totame wau PopaI sampai dudukeke# Hartono Hadjdarati

Minggu, 17 Januari 2016

Falsafah Beladiri Langga

Falsafah Beladiri Langga
oleh
Hartono Hadjarati

Pembinaan beladiri tradisional yang mengandung falsafaf budi pekerti luhur dijiwai oleh nilai-nilai masyarakat melayu yang mengajarkan nilai-nilai seperti : taqwa yang artinya beriman kepada Tuhan Yang  Maha Esa; tanggap artinya peka terhadap perubahan, bersikap berani, dan terus meningkatkan kualitas diri; tangguh artinya ulet dalam usaha mengembangkan kemampuan agar dapat menghadapi dan menjawab setiap tantangan guna mencapai sutau tujuan; tanggon berarti sanggup menegakkan keadilan, kejujuran, kebenaran, mempunyai harga diri, sikap ksatria yang mandiri dan percaya diri; trengginas berarti energik, kreatif, inovatif, dan mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat (Mulyana,Vii,2013)
            Falsafah pada dasarnya adalah pandangan dan kebijaksanaan hidup manusia dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral dan nilai agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pada awal munculnya Langga ‘Ju Panggola’ telah meletakan falsafa dalam diri pe’langga yakni tangguh, Mo’e’a dan Motuli’ato, tangguh artinya pe’langga sanggup menegakkan keadilan di bumi hulondholo (Gorontalo), sikap ksatria dan mempunyai harga diri agar mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun dan menjaga kedamaian untuk manusia sekitarnya. Diharapkan dengan adanya beladiri langga bisa mencetak  pe’langga  Mo’e’a, pe’langga yang tidak bisa tunduk begitu saja kepada keadaan, pe’langga harus reaktif terhadap hal-hal yang baik. Motuli’ato berarti pe’langga harus energik, kreatif, inovatif, karena beladiri langga sangat dominan dalam komponen fisik kecepatan reaksi, daya tahan, serta ketepatan, disinilah dibutuhkan kreatifitas pe’langga untuk memberdayaakan potensi dalam dirinya, serta mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo.
            Dalam falsafah beladiri langga ada suatu etika, yakni ketika pe’langga melakukan pertarungan langga, yakni harus jelas siap yang melakukan sikap ‘mohudu’ atau di pencak silat dikenal dengan sikap pasang, selama yang mohudu ini tidak melakukan penyerangan maka pihak lawan tidak bisa melakukan serangan terlebih dahulu. Dia menunggu sampai ada gerak menyerang dari pihak yang mohudu tadi, sampai tidak penyerangan maka, itu akan terjadi kedamaian atau kesepakatan damai, pada intinya semua persoalan bukan harus di selesaikan dengan pertarungan kalah menang. Etika pada hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan yang terjadi.
                Nenek moyang orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di abad ke-XV mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni, yakni harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di zaman itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi atas benda dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu harmoni. Dengan kata lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus dicapai ialah yang menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan. Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian, merangsang sikap ingin tahu di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara yang diapit samudera luas (Popyram Asriyani,29: 2009, Elnino,2008).
            Beladiri langga adalah sarana untuk mencapai harmoni pikiran dan aktivitas gerak dalam tubuh. Tujuan mempelajari dinamika tubuh dan pikiran untuk mengali potensi dalam diri sendiri. Beladiri langga adalah seni beladiri yang dasar gerak untuk lebih  membaca bahasa tubuh dan jiwa untuk mengembangkan fisik pe’langga ini bisa dilihat dalam prosesi “Pitodu
            Ketika itu tidak ada guru langga, yang memberikan langsung jurus-jurus beladiri langga, mereka belajar secara otodidaktik dan kemandirian. Alamlah yang menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber logika satu-satunya. Itulah sebabnya ilmu beladiri langga dalam struktur geraknya lebih bernuansa filsafat air. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhuhe yito tumolohu de moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan terus berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu, pombango moheyipo (Jikalau banjir, pinggiran sungai pun pindahlah) bermaksud; jikalau ada yang lebih tinggi ilmu langga, maka seorang pe’langga menghormati yang diwujudkan dengan molubo kepada orang tersebut.
            Falsafah air berkembang di Gorontalo karena lingkungan hidup mereka adalah lingkungan air, yakni danau, telaga dan sungai begitu banyak di daratan ini. Hal ini bisa dilihat dalam kuda-kuda beladiri langga, dengan pola langkah yang seakan-akan berjalan di dalam derasnya arus air sungai, dengan salah satu kaki atau keduanya seakang mecenkram serta menopang sebagaian berat badan dan cendrung bersifat aktif maupun pasif. Seorang pe’langga yang telah mampu mencapai harmoni pikiran dan gerak tubuh akan mampu membedakan serangan lawan melalui bahasa tubuh dan jiwa penyerang, Hal ini terwujud dalam ungkapan totame mauitolo popai (tangkisan sudah itulah pukulan/serangan balik). Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula dengan pemikiran tentang api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika ia mampu mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya. Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.## Hartono Hadjarati

.