Jumat, 09 Desember 2016

Sinopsis Buku Langga Gorontalo



BELADIRI LANGGA TERSTANDARDISASI

      Belajar beladiri langga, praktis harus terlebih dahulu menguasai beberapa teknik dasar sedangkan proses pitodu adalah suatu tradisi. Unsur gerak dasar (teknik dasar) beladiri langga adalah teknik beladiri yang bisa digunakan seorang pelangga menghadapi dan melumpuhkan serangan (bertahan atau belaan). Pelatihan teknik dasar ini lebih bersifat “ wanu wiyo paI’yiolio adiye, yio mohama odiye. pataO tiO odiye hamamu odiye ” pelatihan seperti ini disebut Mo bayango. Mo bayango dalam beladiri langga berisi potongan-potongan kemungkinan pembelaan diri yang diambil dari pengalaman perkelahian sebenarnya. Bayango ini belum bisa jaminan pelangga akan mampu menghadapi setiap kemungkinan serangan dalam perkelahian nyata, karena bagaimanapun bayango hanyalah teknik dasar saja. Sedangkan pitodu disini hanya sebagai sugesti, dalam ilmu psikologi adalah motivasi kepada pelangga.
     Pelangga pemula membutuhkan waktu 7 kali bayango dan 7 kali pitodu. Setelah teknik dasar dikuasai, mulailah pelangga pemula merangkai potongan-potongan bayango untuk taraf lebih lanjut mo podipulato. Perangkaian bayango ini sangat perlu mengingat kemungkinan serangan dari perkelahian nyata, dalam situasi seperti ini tidak lagi membutuhkan analisis teoritis sebagaimana orang baru di bayango namun akan bersifat intuitif dan lebih mengandalkan insting. Gerakan pelangga akan mengalir begitu saja dan akan bersifat responsif terhadap setiap agresifitas penyerang, ‘Madia Mowali OkoreA, madi Lingahu’.
      Buku ini menyajikan hal-hal yang lebih representatif dan lebih komplet berkaitan dengan beladiri langga, mulai dari sejarah, nilai-nilai filosofisnya, dan gerak dasar beladiri langga yang sudah standar, mudah dan praktis untuk dipelajari oleh siapapun.
    Buku ini sangat menunjang khazanah perkembangan beladiri langga terutama sebagai panduan dan pedoman bagi para peminat, siswa, mahasiswa, Guru PJOK khusus di lingkungan Pendidikan di Gorontalo serta masyarakat umum yang ingin mempelajari beladiri langga dapat memanfaatkan buku ini sebagai pedoman.

Rabu, 02 November 2016

Gerak Budaya Gorontalo



Langga Wujud Kekayaan Gerak Budaya Gorontalo

Foto Proses Mo bayango

Gorontalo kaya akan budaya gerak, tidak saja berkaitan dengan upacara adat tetapi juga aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti berkebun, manjat pohon kelapa, menyebarang sungai, dan tari-tarian,  hampir semua bentuk budaya gerak berdampak pada aktivitas beladiri langga. Demikian juga dengan faktor geografis dan topografi daerah masing-masing berdampak pada aktivitas budaya gerak dan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan beladiri langga. Hal ini bisa dilihat dalam wujud sikap pasang (mohudu) gerak ini di ilhami oleh kebiasan masayarakat Gorontalo kita melakukan perjalanan naik-turun gunung dan menyebrangi sungai, yakni gerakannya selalu serong. Tangan posisi di angkat untuk mendapatkan keseimbangan ketiga melakukan turun gunung atau menyebrangi sungai.
Bukti dari seluruh aktivitas gerak budaya yang nampak disetiap wilayah dalam Gorontalo seperti naik-turun gunung, memanjat pohon kelapa, menyebarangi sungai, dan aktivitas lainnya yang didukung oleh faktor geografis/topografi wilayah memberikan kontribusi yang besar terhadap setiap gerakan beladiri langga, yakni sikap pasang, pola langkah, kuda-kuda,belaan dan serangan. Dan setiap gerakan ini juga di perkuat oleh faktor psikologis dan sosiolagis masyarakat Gorontalo.
Kekuatan budaya gerak di masing-masing daerah di Gorontalo menujukkan ciri dan karakteristik gerak yang berbeda-beda. Terkadang tujuannya sama, misalkan untuk kegiatan naik gunung maupun turun gunung dengan tujuan agar naik gunungnya cepat dan tidak berat supaya tenaga tidak habis sebelum melakukan aktivitas berkebun atau ladang atau aktivitas melintasi sungai agar supaya tidak hanyut oleh terbawah air sungai. Kedua kebiasanya budaya gerak ini bisa kita lihat wujudnya dalam sikap pasang, kuda-kuda, serta pola langkahnya. Sedangkan budaya gerak belaan dan serangan kita bisa melihat dalam budaya gerak pemanjat kelapa atau memetik cengkeh, mereka lebih banyak mengunakan tangan satu untuk bergerak memetik kelapa.
Gerak budaya merupakan sebuah aktivitas gerak yang telah menjadi kebiasaan karena dilaksanakan dalam rangka upacara adat dan juga sebagai sebuah bentuk kebiasaan masyarakat untuk mencari nafkah. Kebiasaan gerak yang terus menerus akan memberikan motivasi gerak dengan adaptasi yang rutin dan akhirnya menjadi gerak yang otomatisasi.
Beladiri langga merupakan olahraga tradisional masyarakat Gorontalo yaitu adu ketangkasan untuk mengunci atau membuka kuncian (Walama). Yang diawali dengan proses pitodu selanjutnya di lakukan mo bayango atau latihan beladiri langga yang dimulai dengan posisi sikap, sikap pasang, yang dilakukan dengan belajar kuda-kuda serta pola langkah, selanjutnya di ajarkan belaan dan serangan.### Hartono Hadjarati

Rabu, 19 Oktober 2016

"DudutaO" Langga Gorontalo




 DudutaO Lo Langga
Oleh
Hartono Hadjarati




Secara harfiah DudutaO berarti pondasi langkah kaki, dari sudut pandang anatomi ia diartikan sebagai unsur terkecil yang menjadi dasar pembentukan sebuah teknik yang biasanya berupa rangkaian dari sebuah teknik kecil tersebut.
    DudutaO akan sinkron dengan anatomi daerah pinggul yang menjadi pusat sumber energi dan daerah penyeimbang tubuh manusia, Pinggul seperti diketahui merupakan titik tengah dari tinggi badan seorang manusia sehingga secara otomatis menjadi poros atau engsel penyimbang tubuh. Analisis secara sistem pernafasan menunjukkan pinggul berada dalam sebuah sudut menemukan tiga buah garis lurus, tepat di bawah jantung dan paru-paru yang merupakan organ pengelolah oksigen dalam darah yang memperduksi tenaga. Pinggul juga berada dekat sekali dengan pangkal sendi selangkangan yang menggerakkan seluruh aktifitas organ tubuh bagian bawah. Pinggul juga memiliki persendian sendiri (tulang Panggul) yang berfungsi besar dalam menompang organ tubuh bagian atas serta dilewati jaringan otot perut yang berhubungan dengan hampir semua jaringan otot penggerak tungkai (tangan dan kaki).
    Pada saat melakukan dudutaO apa pun seluruh anggota tubuh haruslah dalam posisi dan kondisi mohudu dan mohemeto tanpa ketegangan sedikit pun. Bersamaan dengan memulai gerakkan harus dilakukan pengambilan napas lewat hidung yang kemudian dimanfaatkan secara terfokus sumber energi dengan jalan pengerasan daerah perut sebagian bawah secara cepat dan pada saat gerakan sudah sempurna bentuk dan arahnya napas dikeluarkan lewat mulut sambil mengeraskan anggota tubuh yang berkaitan dengan dudutaO.
       Namun hal ini akan sempurna lagi bila kita memahami gerak arah dan perpindahan energi dalam DudutaO dengan pendekatan analisis biomekanik dengan hukum gerak. Hampir 90 persen dudutaO bergerak dalam lintasan sebuah garis lurus. Ini berarti sesuai dengan hukum geometri matematika yang berbunyi ‘ jarak terdekat di antara dua buah titik adalah sebuah garis lurus, maka lintasan dominan dalam garis lurus itu bertujuan sebagai penunjang kecepatan yang maksimum, efisiensi tenaga seminimum mungkin meminimalisasi kegoyahan/ketakstabilan yang terjadi.
   Semua perpindahan energi dalam dudutaO mirip dengan apa yang disebut sebagai jenis tenaga potensial dalam fisika dasar. Pada sebuah dudutaO dilakukan dalam gerakan yang lambat akan terlihat dengan jelas pemutaran sebuah tubuh dalam rotasi kira-kira 180 derajat dengan diiringi dorongan energi berasal dari pinggul yang berputar 45 derajat atau 90 derajat.

Nakayama dalam ( Abdul Wahid, 2007) menyebutkan ada tujuh unsur yang memegang peranan sangat penting dalam membentuk dudutaO yang sempurna. Yakni 1) Bentuk yang benar, 2). Keseimbangan tenaga dan kecepatan, 3). Konsentrasi dan relaksasi yang tepat, 4). Pelatihan kekutan otot, 5). Irama dan pengaturan waktu dalam sebuah gerakan, 6). Pernapasan yang kontributif dan efisisensi, 7). Peran pinggul yang seoptimal mungkin.

Senin, 05 September 2016

Analisis Keseimbangan dalam beladiri langga

Analisis Fisiologi Olahraga Terhadap Beladiri Langga
(ditinjau dari Fisiologi Kesimbangan Sikap Pasang)

 oleh
Hartono Hadjarati

           KESEIMBANGAN Sebutan lain : 1. Equilibrum 2. Balance 3. Poise (sikap tenang) 4. Position (keadaan sikap kedudukan) 5. Stance (sikap) Keseimbangan ialah : keadaan tenang atau tidak bergerak dari suatu benda atau objek. Titik berat badan (centre of gravity) dapat dikatakan sebagai titik keseimbangan. Dan letaknya tetap, selama tidak berubah. Garis berat tubuh ialah arah gaya gravitasi yang bekerja pada titik berat. Merupakan garis vertical yang melalui titik berat. Garis berat manusia ialah garis vertical yang melalui titik berat badan. Setiap perubahan letak titik berat akan menyebabkan perubahan posisi garis beratnya.
     Tingkat keseimbangan (kesetimbangan) " semua benda yang diam (sesuia dengan syarat-syaratnya) dikatakan dalam keadaan seimbang..... Namun tidak semua benda yang diam memiliki stabilitas yang sama". Hal ini bisa dilihat dalam beladiri langga terutama dalam sikap pasang yakni : sikap pasangan dengan kuda-kuda tinggi memiliki keeimbang mantap (stabil), Seimbang mantap (stabil), terjadi jika posisi sebuah objek diubah sedikit dan objek tersebut cenderung untuk kembali pada posisi semula. Seimbang goyah (labil) Seimbang goyah (labil) : terjadi bila titik berat objek jatuh pada titik yang lebih rendah jika objek tersebut di angkat. Seimbang neteral (indifferent) . Seimbang neteral (indifferent) : terjadi jika terjadi sedikit dorongan, objek tersebut tidak akan jatuh ke belakang atau ke depan.
          Analisis Hukum Newton dengan Aplikasi Dikaitkan dengan Kegiatan Beladiri Langga
1. Hukum I      :  Hukum Kelembaman  (Law of intertia)
Ketika  beladiri langga baru dimulai maka kedua Pelangga yang melakukan pertandingan belum melakukan suatu gerakan apapun. Ketika wasit mulai menentukan Pelangga mana yang boleh bergerak mohudu untuk menyerang mohemeto dalam beladiri langga dalam hal peraturannya ada pelangga yang melakukan sikap pasang “mohudu’ yang mohudu adalah posisi cari lawan, sedengankan yang merima tangganan adalah disebut pelangga “mohemeto”. Pelangga yang melakukan sikap Mohudu  akan diam karena belum mendapatkan penyerangan dari pelangga mohemeto, barulah pelangga mohudu akan bergerak ketika ia mendapatkan sebuah gaya dari pelangga yang mohemeto. Hal ini sesuai dengan pernyataan pada hukum Newton I yakni Hukum Kelembaman yang menyatakan suatu benda akan tetap dalam keadaan diam atau dalam keadaan gerak kecuali karena pengaruh gaya yang merubah keadaannya
2. Hukum II    :  Hukum Percepatan (law of acceleration)
Pada beladiri langga, seorang pelangga ”mohemeto” yang  dapat menyerang pelangga yang posisi muhudu disesuailkan dengan sudut serangan yang dilakukan oleh pelangga Mohemeto. Pelangga mohemeto menyerang dengan menggunakan siku dengan sudut tertentu sehingga dapat merobohkan lawan. Maka gaya yang diberikan oleh pelangga mohemeto untuk menyerang pelangga Mohudu berbanding lurus dengan percepatan ketika Mohudu jatuh. Penjelasan di atas sesuai dengan pernyataan pada Hukum Newton II yakni Hukum Percepatan yang menyebutkan bahwa Percepatan suatu benda karena suatu gaya berbanding lurus dengan gaya penyababnya.
3. Hukum III   :  Hukum Reaksi (Law of reaction)

Dalam beladiri tentunya terdapat dua pelangga yang berusaha untuk menjadi pemenang. Jika pelangga mohemeto menyerang pelangga mohudu, maka pelangga mohudu dapat juga mnyerang kembali pelangga mohemeto dengan tempat yang berlawanan. Misalnya saja pelangga mohemeto menyerang perut pelangga mohudu maka pelangga mohudu dapat melawan dengan menyerang kembali bagian dada atau bahkan menjatuhkannya. Pelangga mohemeto menyerang kembali karena berusaha mempertahankan dirinya agar tidak terjatuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan hukum Newton III yakni Hukum Reaksi yang berbunyi setiap aksi selalu ada rekasi yang sama dan berlawanan. Hal ini lebih dikenal dengan “Totame maitolo popai”# selamatkan beladiri langga dari kepunahan

Selasa, 16 Agustus 2016

Beladiri Langga Terintegrasi dalam Pembelajaran PJOK di Sekolah


Mengembangkan Apresiasi Terhadap Kekhasan Multikultural Dengan Mengenalkan Permainan Dan Olahraga Tradisional Yang Berakar Dari Budaya Gorontalo
(Beladiri Langga Terintergrasi Pada Pembelajaran PJOK di Sekolah SMP)

oleh

Hartono Hadjarati

    Abad ke 21 sudah kita masuki dengan segala tantangan dan permasalahannya. Dunia di abad 21 ini sungguh telah menampilkan wajah yang amat berbeda dari abad sebelumnya. Kemajuan teknologi dan informasi (IT) yang berhasil dicapai ikut mempengaruhi wajah dunia dan segala interaksinya menjadi lebih praktis, maju, modern serta mengunggulkan kepakaran dan pemahaman penggunaan teknologi tinggi untuk memecahkan persoalan kehidupan sehari-hari. Dalam abad yang semakin mengglobal tersebut, pendidikan perlu didorong untuk mampu membekali anak didik dengan kompetensi yang dibutuhkan dari mulai kemampuan berpikir kritis, kreativitas, keterampilan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi, relevan dengan tantangan abad 21 tersebut.
   Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) merupakan salah satu mata pembelajaran pada Kurikulum 2013. PJOK merupakan bagian integral dari program pendidikan nasional, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui pembekalan pengalaman belajar menggunakan aktivitas jasmani terpilih dan dilakukan secara sistematis. Kurikulum 2013 menekankan bahwa mata pelajaran PJOK memiliki konten yang unik untuk memberi warna pada pendidikan karakter bangsa, di samping diarahkan untuk mengembangkan kompetensi gerak dan gaya hidup sehat. Muatan kearifan lokal dari Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengembangkan apresiasi terhadap kekhasan multikultural dengan mengenalkan permainan dan olahraga tradisional yang berakar dari budaya suku bangsa Indonesia (Muhajir,2016)
   Kurikulum 2013 dirancang untuk memperkuat kompetensi peserta didik dari sisi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara utuh. Keutuhan tersebut menjadi dasar dalam perumusan kompetensi dasar tiap mata pelajaran, sehingga kompetensi dasar tiap mata pelajaran mencakup kompetensi dasar kelompok sikap, kompetensi dasar kelompok pengetahuan, dan kompetensi dasar kelompok keterampilan. Semua mata pembelajaran dirancang mengikuti rumusan tersebut. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (selanjutnya disingkat PJOK) pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam bentuk fisik, mental, serta emosional. Sebagai mata pembelajaran, PJOK merupakan media untuk mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis, keterampilan motorik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosional sportivitas-spiritual-sosial).
     Berdasarkan uraian di atas bahwa kurikulum 2013 berisi konten yang unik dan mengandung makna kearifan lokal, dimana guru atau siswa di harapkan mampu menggali potensi-potensi olahraga tradisional untuk dapat diberikan kepada siswa-siswa melalui pembelajaran PJOK sebagai apresiasi terhadap kekhasan multikultural yang beragar pada budaya suku bangsa. Olahraga tradisional harus sesuai dengan hakikat dari PJOK itu sendiri yakni memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu siswa, baik fisik, mental, serta emosional.
      Kurikulum 2013 khsusu pembelajaran PJOK didalamnya ada aktivitas beladiri sebagai salah satu konten untuk mencapai harapan yang telah diuraikan diatas yakni melalui beladiri pencak silat, pencak silat atau silat (berkelahi dengan mengunakan teknik pertahanan diri) seni beladiri Asia yang beragar dari budaya melayu. Beladiri merupakan satu seni yang timbul sebagai satu cara seseorang untuk mempertahankan diri, dibalik itu dalam sebuah seni beladiri mengandung makna ajar filosofis yang dalam untuk di kuasai oleh individu yang ingin belajar beladiri, ajaran atau filosofis ini seperti yang dijabarkan sebagai hakikat PJOK. Seiring perkembangan pencaksilat lebih ke olahraga prestasi maka makna-makna pokok didalam hilang, tergantikan dengan kalah menang.
    Sarjono dan Sumarjo (2010) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran pencak silat pokok-pokok dari pencak silat terhilangkan, atau dimudahkan saat pencak silat menjadi olahraga prestasi. Oleh karena itu sebagian praktisi silat tetap mengingikan pembelajaran beladiri pencak silat di sekolah memfokuskan pada bentuk-bentuk tradisional atau spritual dari pencak silat. Tapi hal ini sulit dilaksanakan karena bentuk-bentuk gerakan dalam buku panduan maupun pemberi materi lebih fokus pada peningkatan keterampilan sebagai hasil produk bukan suatu proses, karena menjadikan nilai tes menjadi acuan. Disisi lain adanya pertandingan pencak silat dalam rangka O2SN atau yang lainnya maka guru lebih fokus terhadap pertandingan di banding mencapai hakikat PJOK itu sendiri. Menurut (Setya Rahayu, 2013) bahwa hal ini disebabkan terlalu menitik beratkan pada aspek kongnitif, beban siswa terlalu berat, kurang bermuatan karakter, harus dilakukan langkah penguatan proses yakni proses pembelajaran dan proses nilai, mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa.
    Pembelajaran merupakan proses interaktif antara guru dengan peserta didik, melibatkan multi pendekatan dengan menggunakan teknologi yang akan membantu memecahkan permasalahan faktual di dalam kelas. Terdapat tiga komponen dalam definisi pembelajaran, yaitu: pertama, pembelajaran adalah suatu proses, bukan sebuah produk, sehingga nilai tes dan tugas adalah ukuran pembelajaran, tetapi bukan proses pembelajaran. Kedua, pembelajaran adalah perubahan dalam pengetahuan, keyakinan, perilaku/sikap. Perubahan ini memerlukan waktu, terutama ketika pembentukan keyakinan, perilaku dan sikap. Guru tidak boleh menafsirkan kekurangan peserta didik dalam pemahaman sebagai kekurangan dalam pembelajaran, karena mereka memerlukan waktu untuk mengalami perubahan. Ketiga, Pembelajaran bukan sesuatu yang dilakukan kepada peserta didik, tetapi sesuatu yang mereka kerjakan sendiri. Artinya, pembelajaran gerak merupakan kebutuhan dasar bagi setiap anak, tanpa harus dipengaruhi instruksi dari orang lain. Ketiga hal ini yang mempengaruhi kualitas pembelajaran PJOK, selain peluang untuk belajar, konten yang sesuai, intruksi yang tepat, serta penilaian peserta didik dan pembelajaran.
  Pendidikan Jasmani mengandung makna pendidikan yang menggunakan aktivitas jasmani untuk menghasilkan peningkatan secara menyeluruh terhadap kualitas fisik, mental, dan emosional peserta didik. Kata aktivitas jasmani mengandung makna bahwa pembelajaran berbasis aktivitas fisik. Kata olahraga mengandung makna aktivitas jasmani yang dilakukan dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan memperkuat otot–otot tubuh. Kegiatan ini dapat dilakukan sebagai kegiatan yang menghibur, menyenangkan atau juga dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi. Sementara kualitas fisik, mental dan emosional disini bermakna, pembelajaran PJOK membuat peserta didik memiliki kesehatan yang baik, kemampuan fisik, memiliki pemahaman yang benar, memiliki sikap yang baik tentang aktivitas fisik, sehingga sepanjang hidupnya mereka akan memiliki gaya hidup sehat dan aktif (Hartono, 2014)
M. Nuh dalam Muhajir dan Budi Sutrisno (2014) mengatakan sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam Kurikulum 2013, siswa diajak menjadi berani untuk mencari sumber belajar lain yang tersedia dan terbentang luas di sekitarnya. Peran guru dalam meningkatkan dan menyesuaikan daya serap siswa dengan ketersediaan kegiatan pada buku sangat penting. Guru dapat memperkayanya dengan kreasi dalam bentuk kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dan relevan yang bersumber dari lingkungan sosial dan alam.
   Dengan penjelasan di atas maka penulis menawarkan solusi dari berbagai presepsi masyarakat untuk mencapai hakikat PJOK, guru PJOK se provinsi Gorontalo mengunakan beladiri langga sebagai sumber lokal untuk pembelajaran aktifitas beladiri atau pembelajaran terintegrasi, untuk meningkatkan kearifan lokal, yakni beladiri langga, sebagai alternatif materi dalam Bab aktifitas beladiri dalam kurikulum 2013 yang telah di revisi pada tahun 2016.
    Beladiri langga menjadi pembelajaran terintegrasi PJOK di sekolah-sekolah di Gorontalo akan membawah manfaat yang luar bias dampaknya kepada siswa dan beladiri langga itu sendiri, sesuai dengan harapan pemerintah melalui PJOK. Muatan kearifan lokal dari Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengembangkan apresiasi terhadap kekhasan multikultural dengan mengenalkan permainan dan olahraga tradisional yang berakar dari budaya suku bangsa Indonesia.
    Hasil wawancara dengan berbagai elemen masyarakat Gorontalo, sekarang saatnya beladiri langga menjadi bagian dari pembelajaran dalam kurikulum disekolah hal ini sesuai dengan konsep kurikulum 2013, seperti yang telah diuraikan diatas, mengapa beladiri langga menjadi alternatif secara konsep dan karateristik beladiri langga memenuhi syarat sebagai beladiri yang memiliki kandungan-kandungan filosifis yang saat ini sudah di miliki oleh masyarakat Gorontalo. beladiri tradisional  Langga sebagai beladiri asli Gorontalo yang perlu di kembangkan dan disosialisasikan lagi kepada generasi muda terutama para siswa sekolah, Beladiri langga adalah sumber belajar lain yang tersedia yang perlu di berikan.
    Karena beladiri langga juga sebagai bagian dari pencak silat yang memiliki karaktristik gerak yang sama, bediri langga yang sudah dikenal, diharapakan menjadi bagian dari pembelajaran PJOK sebagai muatan lokal atau sumber belajar lokal yang berkontribusi terhadap tujuan pendidikan Indonesia, yang diatur dalam sistem pendidikan nasional. Didalam beladiri langga juga diajarkan, memahami, menghayati nilai-nilai luhur beladiri  seperti disiplin, jujur, tanggung jawab, kerja sama, dan toleransi dengan baik dan benar.
   Pembelajaran tentu saja merupakan kegiatan yang mendukung terjadinya proses belajar. Dalam Undangan-undangan sistem pendidikan RI No 20 Tahun 2003 pasal 1,butir 20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (Mulyasa E.2006) mengatakan pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Hal ini peserta didik dan beladiri langga sebagai lingkungan telah terjalin hubungan yang baik yakni faktor internal dan eksternal telah menyatu dengan baik, maka akan membawah perubahan perilaku yang lebih baik pula. Pembelajaran merupakan proses dimana suatu lingkungan secara disengaja dikelola untuk menghasilkan respon terhadap situasi dan kondisi tertentu yang mana pembelajaran ini merupakan substansi dari pendidikan, (Dimyanti dan Mudjiono,2009) Pembelajaran merupakan aktifitas pendidik atau guru secara terprogram melalui desain insruktional agar peserta didik dapat belajar secara aktif dan lebih menekankan pada sumber belajar yang disediakan. Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses atau usaha dari individu yang berupa pengalaman untuk memperoleh perubahan-perubahan dalam hidupnya

Sabtu, 02 Juli 2016

Tradisi Tumbilotohe dan Mo Langga Oleh Msayarakat Tapa-Bulango


Tradisi Tumbilotohe dan Mo Langga
Hartono Hadjarati

Foto Ismet Ishak
   Setiap akhir bulan ramadhan yakni tepatnya pada malam ke 27 Ramadhan masyarakat Tapa Bulango, merayakan tradisi tumbilotohe dan Mo Langga, dua tradisi ini tidak dipisahkan dari gegap gempitanya masyarakat Tapa-Bulango dalam menyambut Idul Fitri, lapangan IPPOT Tapa menjadi titik utama dalam perayaan kedua tradisi ini, dari seluruh  desa se-Tapa-Bulango pasti akan bertemu di lapangan IPPOT Tapa, lapangan yang menjadi simbol persaudaraan Tapa bersatu.
    Tradisi Tumbilotohe hanya akan sampai pada puncak malam 29 ramadhan (Tolohui) sedangkan tradisi mo langga puncaknya setelah sholat Idul Fitri. Tokoh adat Bulango mengatakan bahwa tradisi ini sejak dulu telah berlangsung di Tapa, tapi sayang dekade tahun akhir 1997 dan 2000 mo langga sudah hilang, terhempas oleh meriahnya Tumbilotohe masyarakat lebih fokus pada 1 tradisi ini, tapi sejak 2015 dan tahun 2016 ini kembali di adakan oleh panitia (almarhum Rahmat Bereki, Cs). Menurut Hamid Deletu tokoh adat Bulango bahwa sebenarnya mo langga saat idul fitri ini terkandung nilai yang sangat tinggi, yakni hakekat saling maaf memaafkan “ mo luluta totonula uhialalata to duhelo” oleh masyarakat tempo dulu di simbolkan dengan mo langga. Wujud saling maaf memaafkan itu dalam gerak mohudu wa mohemeto, Mohudu simbol orang minta maaf sedangkan yang posisi mohemeto adalah simbol menerima maaf. Tapi sayang nilai-nilai ini tidak di pahami betul oleh orang-orang pelangga, mereka lebih memperlihatkan kemahiran (moragai). Maka tidak heran mo langga dulunya untuk saling bersilaturahmi sesama masyarakat menjadi ajang yang berujung perkelahian, yang memyebabkan perpecahan dan saling dendam hal ini salah satu penyebab tidak digelarnya tradisi mo langga itu.
  Sebab itu pelangga harus lebih dewasa lagi untuk melakukan langga dalam rangka merayakan trasidi tahuanan ini agar kedua tradisi ini akan menjadi ikon wisata religi dalam rangka menyabut bulan suci ramadhan.# savetradisimolangga2016#savetumbilotohe.

Foto Ismet Ishak (Komdan Is)





Minggu, 05 Juni 2016

Simbol gerak sebagai alat komunikasi dalam beladiri langga




Dalam beladiri langga dalam konsep geraknya melahirkan suatu simbol sebagai alat komunikasi saat memulai suatu pertandingan atau tantangan dari lawan, simbol ini berbentuk wujud sikap gerak mohudu. Tubuh manusia dapat dikatakan sebagai simbol, karena manusia dapat mengungkapkan dan melaksanakan dirinya dalam bentuk simbol. Caranya dapat berupa kegiatan indrawi maupun melalui gerakan dan bahasa tubuh. Sistem Simbol yang digunakan oleh pelangga saat sikap mohudu untuk mengirimkan atau menyampaikan pesan kepada lawan dalam hal ini yang mohemeto patungo, simbol berapa gerak tangan dalam beladiri langga yang harus dipahami oleh pelangga yakni 1) sikap muhudu tangan luruh menghadap keatas adalah simbol atau pesan kepada lawan akan dijatuhkan dengan mobulingaya 2) sikap muhudu tangan luruh menghadap kebawah adalah simbol atau pesan kepada lawan akan dijatuhkan dengan modambaO 3) sikap muhudu tangan luruh menghadap miring adalah simbol atau pesan persahabatan, biasa simbol ini banyak digunakan untuk pertandingan demonstrasi. by Hartono Hadjarati

contoh Mohudu dengan simbol Mopobulingaya/simbol tidak memilih lawan. dengan sikap ini orang tidak akan simpatik dan cendrung tidak baik karena akan membawah malapetaka kepada pelangga sendiri.

mohudu dengan simbol persahabatan










Rabu, 04 Mei 2016

Defenisi setiap nama dalam Beladiri Langga


Istilah-istilah Dalam Beladiri Langga Gorontalo

Pitodu adalah Proses tradisi wajib dijalani oleh pemula ‘Pelangga’ saat pertama kali belajar Langga, dilakukan secara teratur  dan penuh Tatakrma mendasari kesakralan eksistensi Langga tradisional konservatif pada akar budaya Gorontalo yang berdasar pada lahirnya beladiri Langga

 Bulontala Suwawa Selatan
Ilomata : Atingola Gorut
Batu Layar : Bongomeme Kab. Gorontalo

Moragai adalah rangkaian gerak yang tersusun mulai dari Mohudu atau Mohemeto, DudutaO, ToTame wau PopaI, menjadi suatu bentuk gerak popoli yang memiliki nilai keindahan dan kewibawaan dengan ciri  hentakan kaki ketika melangkah, dilakukan dalam keadaan sadar dan kewaspadaan tinggi dengan emosi tetap terkontrol baik, sehingga lawan kehilangan gairah untuk menantang.

 Mohudu
Mohemeto

Totame wau PoPaI


By Hartono Hadjarati

Jumat, 15 April 2016

Langga Sebagai Beladiri



Langga Sebagai Beladiri
BY
Hartono Hadjarati

Bersama Guru langga BuA Desa Ilomata Gorut. Bpk Ismail Jahiji (Pa Tinggi Sumo)

Langga sebagai sebuah fenomena beladiri, terbilang cukup unik, Langga berfungsi sebagai alat atau cara pembelaan diri dengan tangan kosong. Tujuan Langga tidak hanya membentuk pe’langga agar mampu membela diri terhadap lawan, namun juga meningkatkan “kesadaran” spritual seorang pe’langga terhadap eksistensi dirinya sendiri, sesamanya dan alam semesta.
Konsep teknik beladiri Langga secara fisik berupa penggunaan faktor arah dan tenaga lawan untuk dipergunakan oleh Pe’langga dalam mengagalkan serangan lawan, dengan balik peyerang, “Totame MaUi Tolo PopaI” tenaga lawan tidak dihindari atau ditentang, tapi dimanfaatkan untuk menyerang balik, dengan mengunci serangan atau menjatuhkan lawan.
Langga adalah cara mempertahankan diri dengan teknik beladiri. Langga adalah seni untuk menyelamatkan diri dari serangan yang langsung maupun tidak langsung. Ju Panggola sebagai pencipta Langga dengan tujuan menjadi alat rekonsiliasi artinya langga idealnya adalah alat untuk mencari persaudaraan, perdamaian. Bukan sebagai sarana yang justru merenggangkan hubungan dengan manusia lain. Karena langga adalah alternatif terakhir yang terpaksa diambil bila tiada jalan lain untuk menemukan kedamaian. Jalan langga adalah jalan untuk menghentikan semua bentuk perseturuan yang didasari jiwa kasih sayang. Dengan demikian langga akan berfungsi sebagai pengayom, bukan perusak.
“Molopato Tonula Hiala laAta to hila hila lo taU”
Langga tidak memiliki struktur gerak yang baku sampai saat ini, tapi teknik langga dirancang untuk merusak, meskipun potensi untuk hal tersebut tetap besar, yakni konsep gerak “molelapo to tonula leletua” artinya mengunci semua persendian. Teknik Mohudu dalam langga dirancang untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada lawan dalam mengakhiri konflik perkelahian secara bijaksana.
Semua beladiri mempunyai kelebihan dan keterbatasan sendiri. Setiap manusia mempunyai potensi, inisiatif, cipta,rasa, karsa dan inovasi sendiri. Masing-masing orang mempunyai interprestasi dan pendapat sendiri-sendiri tentang bagaimana cara menghadapi serangan dan mengembangkan sistematika beladirinya. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan struktur pertahan diri maupun penyerangan balik.#Foto langga BuA

Kamis, 03 Maret 2016

Gerakan langga sebagai beladiri



Langga adalah istilah lokal sebagai besar masyarakat Gorontalo untuk menyebut nama ilmu Beladirinya sebuah "Local Genius Product" hasil Proses kreatif leluhur masyarakat yang menjadi salah satu identitas Ke-Gorontalo-an

 Mohudu wau mohemeto
 teknik molame uato
 Punggu=kuncian
Moragai=kembangan

Beladiri Langga dalam setiap gerakkan mengandung filisofis dan  sarat dengan sejarah yang menghadirikan "teater of Mind" sehingga bagi generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap Langga, akan menumbuhkan rasa bangga,haru dan kagum kepada para leluhur yang berjuang keras mempelajarinya secara turun-temurun.# Savelangga#tardisi#budaya# Hartono Hadjarati

Rabu, 02 Maret 2016

Kajian otokritik sejarah Langga Gorontalo


Dalam sejarah langga disebutkan bahwa langga sudah ada sebelum Islam masuk ke daerah Gorontalo, yang meng-Islam-kan Rakyat Gorontalo adalah Raja Amai 1523-1550 pada Abad 16 tahun 1525 Amai masuk Islam. sedangkan Ju Panggola orang yang melahirkan langga disebut sebagai Aulia penyebar agama Islam. TAPI kalau di kaji dalam praktek Langga, langga masih mengunakan filsafat Naturalistik dimana nilai-nilai dan norma-norma budaya bersumber dari fenomena alam semesta. Benarkah Ju Panggola sebagai pencipta Langga???# otokritiksejarahlangga


Rabu, 10 Februari 2016

Sejarah Langga

Asal Usul Langga 
oleh 
Hartono Hadjarati

Kapan beladiri langga lahir tidak ada yang tahu persis, lalu bagaimana beladiri ini berkembang. Beladiri langga ini berkembang melalui informasi dari mulut ke mulut, beladiri langga disebarkan melalui kisah atau legenda masyarakat Gorontalo.
Ju Panggola adalah sebuah gelar atau julukan.Ju dalam bahasa Gorontalo yang artinya ya, dan Panggola berarti tua. Jadi, Ju Panggola berarti ya pak tua. Menurut sejarah, orang yang dijuluki Ju Panggola itu adalah Ilato yang berarti kilat. Ia adalah seorang Awuliya atau Wali yang menyebarkan agama Islam di Gorontalo dan memiliki kesaktian yang tinggi, yakni mampu menghilang dari pandangan manusia dan dapat muncul seketika jika Negeri Gorontalo dalam keadaan gawat. Ia dijuluki Ju Ponggala, karena ia selalu tampil atau muncul dengan profil kakek tua berjenggot panjang dan mengenakan jubah putih. Ju Panggola meninggalkan sebuah aliran ilmu putih yang diterapkan lewat beladiri yang oleh masyarakat Gorontalo di sebut dengan langga. Semasa masih hidup, Ju Panggola mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya dengan cara meneteskan air mata pada mata mereka. Setelah itu, sang murid akan menguasai ilmu beladiri tersebut melalui mimpi ataupun gerakan refleks. Ju Panggola meninggal pada abad 14, ini dibuktikan dengan bangunan makam yang terletak di kelurahan Dembe I kecamatan kota Barat Kota Gorontalo, yang saat ini oleh masyarakat dianggap kompleks suci.
Beladiri langga terus berkembang, di wilayah Gorontalo (Hulondahlo), menyebar kesemua kerajaan kecil waktu. Maka muncul Jogugu sebagai kepala keaman waktu itu, seorang Jogugu sangat ahli dalam olahkanuragan (langga). pada abad ke 16 beladiri langga, sudah menjadi beladiri yang sangat populer di semua lapisan masyarakat Gorontalo waktu itu baik orang dalam kerajaan maupun masyarakat biasa. Puncaknya pada abad ke 17 dalam kerajaan Limboto dan Kerajaan Gorontalo.
Dokumen/ Foto : Jogugu Gorontalo 1870
Sumber : www.gorontaloprov.go.id

1.        Beladiri Langga Masa Kerajaan
Pada zaman kerajaan Nusantara, beladiri dijadikan sebagai alat untuk mencapai status dan kedudukan sosial, seseorang yang menguasai kemahiran beladiri disegani oleh masyarakat dan dapat mencapai kekuasaan politik, Maryono,(2000) dalam Mulyana 2013.79)
Seiring dengan pesatnya kebudayaan dan majunya transfortasi (laut dan darat), terjadi perluasan kekuasan oleh kerajaan satu terhadap kerajaan lainnya. Kemudian mulailah proses interaksi budaya dan ilmu pengetahuan, baik antara kerajaan rumpun melayu maupun dengan kerajaan di luar negeri sehingga mengakibatkan proses saling mempengaruhi termasuk beladiri. Proses saling mempengaruhi inilah yang saling berperan dalam memberikan aneka ragam gerak beladiri sehingga tidak tampak lagi keaslian beladiri.
Beladiri langga bukan ilmu yang statis. Ilmu ini berkembang dari waktu kewaktu. Proses akulturasi merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai aliran dan peningkatan kemampuan beladiri langga. Perpindahan penduduk, ekspansi kerajaan dan sifat suka merantau (moleleyangi) menyebabkan terjadinya pertemuan dan persilangan antara berbagai ilmu kanuragan (beladiri) yang saling memberi dan menerima. Oleh karenanya dengan datangnya berbagai suku dan bangsa ke Gorontalo, tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya persilangan yang memperkaya kemampuan beladiri langga Gorontalo seperti misalnya ilmu beladiri yang banyak dipengaruhi Kuntao Cina diberbagai tempat di daerah Gorontalo sudah dianggap sebagai ilmu asli setempat.
Basri Amein (2012:59 ) mengatakan pada tahun 1930-an secara sosial orang Gorontalo jarang saling benci dan jarang suka berkelahi, juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian di antara masyarakat itu karena minuman keras (saguer). Walaupun saat itu rata-rata orang Gorontalo mengetahui beladiri Langga serta mempunyai pisau belati. Meskipun demikian tak pernah ada perang besar didaerah Gorontalo, walaupun pada abad ke 17 kerajaan Limboto dan Gorontalo berperang tapi akhirnya bisa diakhiri dengan kesadaran akan manfaat persahabatan. Hal ini masih melekat dalam filosofis langga bahwa kedamaian itu tidak selamanya diselesaikan dalam sebuah pertarungan, ini bisa dilihat dalam sikap “mohudu”. Saat “mohudu” atau meragai tidak ada orang lain menerima maka selama itu pula seorang yang sedang mohudu tidak bisa menyerang orang lain. Hal ini sesuai dengan falasaf orang Gorontalo, “dila pololehe parakara, wanu malodungaya dilabo teteo”.
Keadaan daerah Gorontalo di atas sesuai yang di tulis oleh F.De Haan (1935:150-160 dalan Djoko Soekiman,2014,35) yang mengatakan Gorontalo adalah salah satu pemasuk prajurit sewaan yang siap pakai oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga wilayah kekuasaanya yang  semakin luas di nusantara, ada banyak hulptroepen (pasukan) yang diserahkan oleh raja Gorontalo, paduka Muhammad Djain Iskandar Monvarsa, kepada asisten residen Gorontalo, Willem Laurens Van Gurieke. Dalam perjanjian yang bertanggal 29 Agustus 1828 disebutkan sebanyak 400 orang yang menguasai beladiri langga dibawah oleh putra sulung Hassan Monvarsa yang diberi pangkat “ Kapitein laut”.


Dokumen : Foto Raja Gorontalo Iskandar Monoarfa
2.      Beladiri Langga Masa Penjajahan
Puncaknya pada tanggal 23 Januari 1942, para pemuda yang dipimpin oleh Nani Wartabone mengadakan perlawan terhadap kedudukan Belanda di Gorontalo, dengan semangat patriotisme pemuda-pemuda yang telah dibekali dengan beladiri langga dengan permainan pedang (Longgo), ini mampu mengalahkan Bangsa penjajah. Belanda merencanakan pembumi hangusan segala aset di daerah jajahan termasuk di daerah Gorontalo apabila terjadi serbuan Jepang. Para pemuda ini dikenal dengan pasukan rimba  Nani Wartabone, tapi sangat disayangkan pasukan rimba, saat ini nasib dan keberadaan mereka tidak banyak diketahui. Pasukan rimba ini konon direkrut dari pemuda-muda yang telah menguasai beladiri langga, yang ada didaerah suwawa dimana Bapak Nani Wartabone tinggal. Kontribusi terakhir pasukan rimba ini ketika penumpasan  PERMESTA di Gorontalo.
Dokumen : Pahwan Gorontalo Bpk Nani Wartabone
dokumen Penelitian : studio Civica Tv

Selasa, 02 Februari 2016

Berbagai Unsur Gerak dalam Beladiri Langga

Foto-foto diatas menunjukan Unsur gerak dasar Moragai atau Mohudu dan mohemeto dalam Beladiri Langga Gorontalo, gerak ini yang harus pertama dikuasai oleh para Pe'Langga.

Mohudu = Wolohuduwolo
Mohameto = Wolohemetalo
Moheupo = Wolo u wa u polo

3 pertanyaan di atas yang harus dikuasai oleh pelangga, Pertanyaan  3 diatas setiap perguruan memiliki teknik dan taktik tersendiri terutama unsur mistiknya.


Gambar diatas Menunjukan Totame wau PopaI sampai dudukeke# Hartono Hadjdarati

Minggu, 17 Januari 2016

Falsafah Beladiri Langga

Falsafah Beladiri Langga
oleh
Hartono Hadjarati

Pembinaan beladiri tradisional yang mengandung falsafaf budi pekerti luhur dijiwai oleh nilai-nilai masyarakat melayu yang mengajarkan nilai-nilai seperti : taqwa yang artinya beriman kepada Tuhan Yang  Maha Esa; tanggap artinya peka terhadap perubahan, bersikap berani, dan terus meningkatkan kualitas diri; tangguh artinya ulet dalam usaha mengembangkan kemampuan agar dapat menghadapi dan menjawab setiap tantangan guna mencapai sutau tujuan; tanggon berarti sanggup menegakkan keadilan, kejujuran, kebenaran, mempunyai harga diri, sikap ksatria yang mandiri dan percaya diri; trengginas berarti energik, kreatif, inovatif, dan mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat (Mulyana,Vii,2013)
            Falsafah pada dasarnya adalah pandangan dan kebijaksanaan hidup manusia dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral dan nilai agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pada awal munculnya Langga ‘Ju Panggola’ telah meletakan falsafa dalam diri pe’langga yakni tangguh, Mo’e’a dan Motuli’ato, tangguh artinya pe’langga sanggup menegakkan keadilan di bumi hulondholo (Gorontalo), sikap ksatria dan mempunyai harga diri agar mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun dan menjaga kedamaian untuk manusia sekitarnya. Diharapkan dengan adanya beladiri langga bisa mencetak  pe’langga  Mo’e’a, pe’langga yang tidak bisa tunduk begitu saja kepada keadaan, pe’langga harus reaktif terhadap hal-hal yang baik. Motuli’ato berarti pe’langga harus energik, kreatif, inovatif, karena beladiri langga sangat dominan dalam komponen fisik kecepatan reaksi, daya tahan, serta ketepatan, disinilah dibutuhkan kreatifitas pe’langga untuk memberdayaakan potensi dalam dirinya, serta mau bekerja keras untuk kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo.
            Dalam falsafah beladiri langga ada suatu etika, yakni ketika pe’langga melakukan pertarungan langga, yakni harus jelas siap yang melakukan sikap ‘mohudu’ atau di pencak silat dikenal dengan sikap pasang, selama yang mohudu ini tidak melakukan penyerangan maka pihak lawan tidak bisa melakukan serangan terlebih dahulu. Dia menunggu sampai ada gerak menyerang dari pihak yang mohudu tadi, sampai tidak penyerangan maka, itu akan terjadi kedamaian atau kesepakatan damai, pada intinya semua persoalan bukan harus di selesaikan dengan pertarungan kalah menang. Etika pada hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan yang terjadi.
                Nenek moyang orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di abad ke-XV mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni, yakni harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di zaman itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi atas benda dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu harmoni. Dengan kata lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus dicapai ialah yang menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan. Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian, merangsang sikap ingin tahu di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara yang diapit samudera luas (Popyram Asriyani,29: 2009, Elnino,2008).
            Beladiri langga adalah sarana untuk mencapai harmoni pikiran dan aktivitas gerak dalam tubuh. Tujuan mempelajari dinamika tubuh dan pikiran untuk mengali potensi dalam diri sendiri. Beladiri langga adalah seni beladiri yang dasar gerak untuk lebih  membaca bahasa tubuh dan jiwa untuk mengembangkan fisik pe’langga ini bisa dilihat dalam prosesi “Pitodu
            Ketika itu tidak ada guru langga, yang memberikan langsung jurus-jurus beladiri langga, mereka belajar secara otodidaktik dan kemandirian. Alamlah yang menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber logika satu-satunya. Itulah sebabnya ilmu beladiri langga dalam struktur geraknya lebih bernuansa filsafat air. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhuhe yito tumolohu de moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan terus berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu, pombango moheyipo (Jikalau banjir, pinggiran sungai pun pindahlah) bermaksud; jikalau ada yang lebih tinggi ilmu langga, maka seorang pe’langga menghormati yang diwujudkan dengan molubo kepada orang tersebut.
            Falsafah air berkembang di Gorontalo karena lingkungan hidup mereka adalah lingkungan air, yakni danau, telaga dan sungai begitu banyak di daratan ini. Hal ini bisa dilihat dalam kuda-kuda beladiri langga, dengan pola langkah yang seakan-akan berjalan di dalam derasnya arus air sungai, dengan salah satu kaki atau keduanya seakang mecenkram serta menopang sebagaian berat badan dan cendrung bersifat aktif maupun pasif. Seorang pe’langga yang telah mampu mencapai harmoni pikiran dan gerak tubuh akan mampu membedakan serangan lawan melalui bahasa tubuh dan jiwa penyerang, Hal ini terwujud dalam ungkapan totame mauitolo popai (tangkisan sudah itulah pukulan/serangan balik). Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula dengan pemikiran tentang api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika ia mampu mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya. Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.## Hartono Hadjarati

.